29 April 2009

Strategi Menembus Pasar Luar Negeri Melalui Internet

INTERNET adalah sebuah jaringan komputer dunia, yang tidak mengenal batas antara negara. Kita bisa terhubung dengan siapa saja di belahan dunia lain melalui Internet dengan begitu mudahnya. Dengan karakter seperti itu, semestinya Internet dapat dimanfaatkan sebagai medium untuk menembus pasar ekspor. Kita bisa menjual barang ke manca negara tanpa harus melakukan pameran di luar negeri atau bertemu langsung dengan calon buyer secara langsung.

Jika kita berhasil menembus pasar ekspor hanya melalui Internet, maka margin usaha kita akan tinggi, mengingat salah satu biaya terbesar eksportir adalah biaya promosi roadshow di luar negeri.

Bagaimana strateginya? Di bawah ini saya uraikan beberapa strategi mendasar yang wajib dilakukan.

Memiliki Situs Web yang Sesuai Pasar

Memiliki situs web adalah langkah pertama yang harus dilakukan untuk menembus ekspor via Internet. Melalui situs web inilah calon pembeli mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai siapa kita, barang apa saja yang diproduksi, berapa besar kapasitas produksi, bagaimana kualitas barang, serta informasi pendukung lainnya. Anggaplah ini sebagai catalog produk yang biasanya dicetak oleh para eksportir dan disebarluaskan ke calon-calon buyernya di berbagai Negara. Bedanya, di situs web kita bisa memperbarui produk-produk dengan mudah dan cepat sehingga calon buyer selalu mendapat informasi terbaru.

Tentu saja, situs web bukan hanya pengganti katalog produk. Situs web juga sebuah media komunikasi yang interaktif dengan calon pembeli. Oleh karena itu, situs web harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk berkomunikasi langsung, baik dalam bentuk email maupun chat.

Kecuali itu, karakter situs harus disesuaikan dengan karakter pasar. Jika ingin lebih mudah menembus pasar Eropa misalnya, desain situs web sebaiknya sederhana, klasik, tanpa animasi aneh-aneh, karena memang seperti itulah kebanyakan karakter desain Eropa. Sebaliknya, jika ingin menembus Amerika Serikat, karakter desain yang modern kreatif akan mempermudah orang Amerika untuk tertarik membuka situs web kita.

Untuk bahasa, apa boleh buat, bahasa Inggris adalah sebuah keharusan. Namun jika ingin lebih efektif lagi menembus Eropa, buat beberapa versi bahasa untuk negara-negara yang lebih nyaman dengan bahasa ibunya, misalnya Perancis dan Spanyol.

Search Engine Friendly

Pengguna Internet memiliki perilaku khusus dalam hal mencari informasi produk. Mereka tidak terlalu suka langsung masuk ke situs web sebuah perusahaan dan mencari informasi produknya di sana. Mereka lebih senang mencarinya melalui search engine seperti Google, Yahoo!, MSN Live dan lainnya. Statistik dari berbagai lembaga riset menunjukkan, sekitar 68% pengguna Internet mencari informasi produk melalui mesin pencarian.

Oleh karena itu, wajib hukumnya memiliki situs web yang search engine friendly. Situs yang memenuhi standar ini akan mudah dan cepat diindeks oleh berbagai search engine utama, seperti Google, Yahoo! dan MSN Live. Banyak perusahaan yang seringkali abai dengan hal-hal semacam ini. Perhatian mereka lebih terfokus pada tampilan – indah tidaknya – sebuah situs. Padahal, search engine friendly ini justru memiliki nilai startegis agar mudah dicari pengguna Internet.

Menguasai Keyword yang Tepat

Jika kita berjualan furniture, maka kita harus melakukan audit, apakah ketika pengguna Internet mengetik keyword atau kata-kata kunci yang berkaitan dengan furniture itu, situs kita berada di halaman hasil pencarian yang strategis? Tidak harus no nomor satu hasil pencarian. Berada di halaman satu hasil pencarian sudah cukup bagus. Bagaimana pun, pengguna Internet masih rela membaca hasil pencarian sampai halaman ke lima.

Meski demikian, penguasaan kata kunci pun perlu strategi khusus. Saya sering bertemu dengan pemilik situs yang bangga bahwa kata kunci nama domiannya menduduki nomor satu hasil pencarian di search engine. Sebenarnya itu hal yang biasa saja. Yang justru harus diriset dengan serius adalah, kata kunci apa yang diketik oleh calon buyer kita berkaitan dengan produk yang kita tawarkan. Ketika kita menjual handphone misalnya, akankah menggunakan kata kunci handphone, mobile phone, atau cell phone? Memahami istilah-istilah yang berkaitan dengan produk yang kita jual ke negara-negara tertentu amat strategis dalam menembus ekspor.

Promosi Online

Meski calon buyer akan datang dengan sendirinya jika situs kita search engine friendly dan menguasai keyword yang tepat, tetap saja sebuah web yang berorientasi penjualan harus dipromosikan dengan serius untuk mendapatkan pengunjung berkualitas. Sedikitnya ada tiga hal yang penting dilakukan.

Pertama, bergabung dengan e-marketplace dunia, seperti Alibaba.com, Globalsources.com dan eBay.com serta emarket place vertical yang sesuai dengan produk yang kita jual. Di tempat maya itulah para buyer dan seller seluruh dunia bertemu. Memang di sana persaingan amat ketat, banyak penjual produk yang sama dari negara lain atau bahkan dari sesama perusahaan Indonesia. Namun dari situlah kita akan mudah ditemukan oleh calon pembeli yang serius.

Kedua, bergabung dengan social networking dunia. Karena yang bergabung di social networking itu manusia, maka sebaiknya eksekutif perusahaan, bukan perusahaanya, yang bergabung ke socian networking itu. Jika ingin menembus pasar luar negeri, maka salah satu yang saya rekomendasikan adalah Linkedin.com. Inilah jaringan social dunia maya para eksekutif dan pebisnis dunia. Masuklah ke sana, bergabunglah dengan kelompok-kelompok orang yang diasumsikan membutuhkan produk kita.

Ketiga, promosi melalui Google Adwords, yang amat bermanfaat ketika kita tidak mampu menguasai keyword-keyword tertentu.

Paham Seluk Beluk Ekspor

Ini langkah strategis yang harus disiapkan jauh-jauh hari. Percuma saja kita mendapatkan banyak potential buyer jika kita pada akhirnya tidak bisa mengirim barangnya ke negara tujuan karena tidak paham prosedur ekspor. Hal lain yang harus jadi perhatian adalah soal pembayaran. Kita harus paham betul soal LC dan prosedur pembayaran gara jangan sampai kita tertipu. Selalu ada saja peluang kita ditipu oleh buyer yang mau menerima barang tapi enggan membayar. Apalagi di dunia Internet, di mana kita tidak pernah bertemu dengan buyer kita.

Oleh karena itu, lengkapilah diri dengan ilmu ekspor impor.

Selamat menembus pasar luar negeri melalui dunia maya!


Profil | Buat lencana kamu sendiri
Profil Facebook Zunhaji Mohamad

Bisnis Adalah Tentang Menepati Janji

Saya menyimpulkan ini dari pengalaman dan perenungan cukup dalam. Bisnis sebenarnya adalah soal menepati janji. Janji kepada pelanggan, kepada karyawan, kepada investor, kepada mitra/vendor, kepada masyarakat, kepada keluarga dan diri sendiri.

Kemarin saya mendapat "teguran" dari seorang pelanggan. Ia merasa sebagian haknya belum dipenuhi oleh manajemen Manet. Saya diingatkan lagi dengan janji-janji yang telah kami buat itu.

Ketika bertransaksi dengan pelanggan, kita telah berjanji untuk memberikan mereka produk yang dibeli berikut atribut janji lainnya seperti kualitas, waktu pengiriman, retur, garansi dan sebagainya.

Bisnis akan jatuh tersungkur bila tidak mampu lagi menepati janji-janjinya. Bernie Madoff tersungkur dan terbongkar kedoknya ketika ia tidak lagi mampu men-deliver janjinya kepada investor.

Ketika masih di Tanah Abang dulu, saya menyaksikan sendiri fenomena pengusaha-pengusaha yang jatuh karena tidak menepati janji dengan mitra suppliernya.

Umumnya mereka melakukan transaksi dengan supplier secara kredit. Masalahnya, uang yang seharusnya dibayarkan kepada supplier, diputar dulu ke tempat lain yang tidak semestinya, seperti: membuka bisnis baru, beli rumah, beli mobil dan sebagainya.

Mungkin mereka berpikir bahwa "nasib" supplier ada di tangan mereka. Bargaining position mereka sangat lemah sehingga mau saja dibegitukan.

Mungkin mereka berpikir bahwa janji yang harus ditepati hanyalah kepada pelanggan saja. Itu salah besar. Yang berhak ditepati janjinya adalah semua pihak yang terlibat dalam proses bisnis kita, sekecil apa pun perannya.

Menepati janji ini menjadi begitu berat dan pahit ketika dalam kondisi sulit. Saya ingat sekali tahun 2003 lalu. Tahun yang paling berat dalam perjalanan bisnis Manet.

Di bulan puasa, sehari menjelang keberangkatan saya dan istri untuk merayakan Idul Fitri di tempat mertua di Palembang, saya menongkrongi ATM BCA di Blok F Tanah Abang dengan harap-harap cemas.

Saya sedang menunggu transferan pembayaran dari pelanggan. Ya, saat itu sebagian besar transaksi dengan pelanggan adalah secara piutang.

"Pak, tolong ditransfer berapa pun adanya", demikian pinta saya dengan memelas kepada siapa pun pelanggan yang berutang. Saya harus melunasi utang kepada para supplier di Pekalongan. Kalau uang itu tidak ditransfer, para karyawan mereka tidak dapat berhari raya bersama keluarganya. Pembayaran dari saya adalah "penyambung nyawa" buat mereka.

Masalahnya, kondisi keuangan bisnis kami pun sedang parah sekali. Sama sekali tidak ada uang di rekening kami. Betul. Hanya ada tersisa ongkos untuk naik bis Lorena.

Meski begitu kami tetap menunaikan janji. Gaji karyawan telah dibayarkan berikut THRnya. Utang kepada supplier pun telah dilunasi. Lantas, buat kami sendiri sebagai pemilik bisnis apa yang tersisa? Nothing.

Uangnya memang ada, tapi di tangan pelanggan yang entah kapan akan dibayar. Itu sebuah kesalahan manajemen, saya akui.

Tapi, di balik semua itu, janji telah ditunaikan. Saya berprinsip, menjaga nama baik dan menepati janji itu lebih penting ketimbang keuntungan di tangan dengan mengebiri hak orang lain. Ketika bisnis rugi, pemiliklah yang menanggung risikonya. Jangan dilimpahkan kepada pelanggan, karyawan atau mitra kita.

Bagaimana pendapat anda?



Profil | Buat lencana kamu sendiri
Profil Facebook Zunhaji Mohamad

Sederhana

Assalamu'alaikum wr. wb.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat;
diucapkan kayu kepada api yg menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat;
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


by Sapardi Djoko Damono

Saya tidak sedang sentimentil. Walau banyak yang bilang saya memang cukup romantis, apalagi istri saya hehe. ( Ssstt, justru puisi inilah yang membuat istri kesengsem dan mau menjalani hidup bersama sang kelana ini hehe).

Saya hanya suka pada kesederhanaan. Ya, dalam setiap perkataan, pemikiran dan tindakan, saya selalu sederhana. Baju saya sederhana, omongan saya sederhana, bisnis saya sederhana, bahkan wajah saya sederhana :).

The power of simplicity, itu saya rasakan sendiri. Dalam usaha - itu juga seandainya punya toko bisa disebut usaha ya - saya berpikir sangat simple. Suka sekali apa yang dikatakan oleh Aa Gym : mulailah dari diri sendiri, dari yang kecil dan mulailah sekarang !. Tujuannya juga sederhana, ingin memberikan manfaat kepada orang lain dengan memberi lapangan pekerjaan dan belajar cara sahabat Rasulullah dalam menjemput rejeki, yang 9 dari 10-nya dengan berdagang. Klo ternyata ada profit yang lumayan, itu sekedar efek samping hehe.

Tanpa lelah saya selalu katakan pada yang bertanya, saya mulai dari Rp. 800.000,- semoga dianggap kecil untuk memulai sebuah usaha. Maklum, lom pernah merasakan berwirausaha, otak sudah terjerembab terlalu dalam ke pemikiran sebagai seorang karyawan yang hanpir 10 tahun mengabdi. Udah membatu. Ingin test and measure, ingin coba2. Di ruang tamu rumah, dengan pegawai saya sendiri besama istri. Ya, menjual busana muslimah secara kredit ke para tetangga tercinta.

Tidak mau berpikir muluk dalam berusaha, tidak ingin menunggu kondisi ideal untuk memulai. Nunggu ada modal Rp. 30 juta, nunggu punya toko yang lokasinya strategis, nunggu punya pegawai yang jujur, amanah, ramah tamah, cinta nusa dan bangsa ... wah kapan mulainya :).

KISS - Keeep It Simple Stupid !. Atau "Keep It Sweet & Simple", "Keep It Short & Simple", "Keep it Simple, Sweetheart" adalah kata2 yang kurang lebih sama pengertiaannya. Albert Einstein bilang "everything should be made as simple as possible, but no simpler." dan Leonardo da Vinci bilang "Simplicity is the ultimate sophistication."

Dalam buku It's Not the Big that Eat the Small...It's the Fast that Eat the Slow by Jason Jennings and Laurence Haughton juga dijelaskan mengenai ciri perusahaan yang cepat adalah perusahaan yang simple dan menerapkan konsep KISS. Jalur birokrasi mereka pendek, struktur organisasinya ramping, menerapkan kebebasan mengungkapkan ide yang tidak hanya eksklusif milik jajaran pimpinan, tidak pusing pada visi dan misi perusahaan yang kadang hanya sebagai hiasan dinding tapi pada pedoman perusahaan yang simple, praktis dan aplikatif. Perusahaan yang simple lincah dalam bergerak dan cepat dalam mengadaptasi perubahan.

Apakah dengan sederhana menjadikan kita gak punya ambisi ? selalu dalam posisi standar dan biasa2 saja ? gak punya keinginan untuk maju ?. Not really. Dalam bukunya, Quantum Ikhlas, Erbe Sentanu menjabarkan bahwa mengapa kesederhanaan kadang justru memiliki power. Ya, jika kesederhanaan itu diselubungi dengan keikhlasan. Konsep goal setting diubah menjadi goal praying, positif thingking menjadi positif feeling karena feeling yang berasal dari hati lebih memiliki kekuatan dahsyat. Jadi walau apa yang kita lakukan terlihat sepele atau sederhana dalam kacamata orang namun jika dihiasi dengan keikhklasan dan rasa syukur maka itu akan menjadi pekerjaan atau sesuatu yang besar. Insya Allah.

Kesederhanaan juga berlaku bagi gaya hidup orang sukses. Kita sudah seringkali menjumpai orang sukses yang humble, low profile dan jiwa sosialnya tinggi. Memang sepertinya ada korelasi antara kesuksesan dan jiwa sosial, atau sebaliknya. Orang yang sekarang sukses biasanya lebih banyak memberi dan sebaliknya orang yang lebih sering memberi Insya Allah bisa sukses. Trik dari Adam Khoo, motivator dan penulis buku Master Your Mind, Design Your Destiny, menyatakan bahwa dalam meningkatkan kesuksesan, salah satu caranya adalah tingkatkan pemasukan dan tekan pengeluaran. Live below your mean, jangan besar pasak daripada tiang. Bedakan dan prioritaskan antara keinginan dan kebutuhan. Mampunya beli dan bayar pajak buat punya Carry ya jangan maksa punya Fortuner hehe. Dalam Islam dikenal zuhud, tidak meletakkan dunia dan harta didalam hati tapi sekedar dalam genggaman.

So, sederhanalah.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat;
diucapkan kayu kepada api yg menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat;
disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Ah, jadi nostalgia nih.

Profil | Buat lencana kamu sendiri
Profil Facebook Zunhaji Mohamad

Menetapkan Harga Jual

Assalamu'alaikum wr. wb.

Terkadang kita bingung dalam menentukan harga jual produk atau jasa kita. Terutama sekali jika kita sebagai produsen, ataupun kita sebagai re-seller.

Jika kita sebagai re-seller untuk produk yang brand-nya sudah terkenal (branded) maka biasanya harga sudah ditetapkan, namun tidak menutup kemungkinan juga bagi kita untuk menetapkan harga sendiri.

Dalam strategi penetapan harga dikenal ada 3 model yang umum dipakai :

1. Cost Plus Pricing (CPP)

Kita menetapkan harga jual dengan menggunakan hitungan biaya produksi internal seperti harga pokok penjualan (HPP/cost of good sold) atau harga modal dan biaya operasional yang timbul, lalu ditambah dengan margin keuntungan yang diinginkan.

Artinya CPP melakukan perhitungan maju (forward calculation), dari biaya internal yang ditimbulkan menuju harga jualnya berapa. Ini yang paling umum digunakan. Modal berapa, cost berapa, ingin margin berapa lalu tentukan harga jual.

Jika ada perubahan pada HPP nya maka untuk mendapatkan margin keuntungan yang sama otomatis harga akan berubah. CPP memungkinkan terjadinya perang harga. Siapa yang paling murah, dia punya kesempatan lebih baik. Itulah sebabnya CPP masih cocok jika target pasar kita middle-low yang 'price-sensitive'.

Contoh adalah perang harga di industri telekomunikasi saat ini. Karena turunnya tarif interkoneksi, akibarnya cost pun jadi turun, lantas selama marginnya masih dapet ya di murahin semurah-murahnya.

2. Market Based Pricing (MBP)

Kita menetapkan harga jual dengan melihat harga di pasaran yang terkadang sudah ditetapkan oleh para pemain. Jika harga rata-rata suatu produk di pasaran sekian rupiah, maka kita harus menggunakan harga tersebut agar kompetitif.

Artinya MBP melakukan perhitungan mundur (backward calculation), untuk mengetahui apakah masih ada sisa labanya setelah melihat harga jual dikurangi biaya-biaya yang timbul.

Biasanya berlaku untuk produk consumer goods atau daily needs. Contoh harga pulsa ya kisaran atau rata-ratanya sudah diketahui, maka kita pastinya menetapkan harga sama atau dibawah itu sedikit.

MBP masih lebih baik dari CPP karena menghindari terjadinya perang harga tapi resikonya adalah munculnya isu kartel atau permainan harga dari para pemain besar seperti isu monopili dua perusahaan besar telekomunikasi.

Untuk kedua model diatas, kadang kita bisa memadukannya. Artinya kita menetapkan harga berdasarkan CPP tapi sekaligus melihatnya juga melalui MBP. Apalagi dalam menghadapi persaingan.

Seperti usaha saya yang bergerak di ritel maka dalam menetapkan harga, selain berangkat dari modal, cost dan margin yang diinginkan, juga melihat harga pasaran atau pesaing.

Kita ingin margin berapa sekaligus melihat apakah harganya sudah sesuai dengan di pasaran, jangan sampai terlalu murah hingga marginnya tipis banget sampai beresiko rugi tapi jangan juga kemahalan sehingga mengakibatkan kurang laku.

3. Value Perception Pricing (VPP)

Ini yang paling ideal sebenarnya, tapi memang paling sulit. Kita menetapkan harga menggunakan persepsi pelanggan terhadap harga yang pantas untuk layanan atau produk kita.

Harga produk tidak selalu harus berbanding lurus dengan biaya produksi atau cost. Selama konsumen menganggap kualitas baik produk dan layanannya dianggap baik, mereka tidak akan segan-segan untuk membelinya dengan harga mahal.

Pernah dengar 'harga barangnya gelap' ? Maksudnya adalah dari harga jual kita gak bisa menebak berapa harga modalnya. Sepatu, kacamata, aksesoris termasuk didalamnya.

Persepsi-persepsi-persepsi. Itulah yang selalu diwanti-wanti pak Sumardy dari Octobrand sewaktu Forum Jum'at TDA tempo hari. Hasilnya akan selalu lebih baik walau perjuangannya juga gak sedikit dan ringan.

Perang harga biasanya bersifat 'short term'. Menang sebentar. Sedangkan dengan persepsi walau lebih lama prosesnya namun lebih awet pula keuntungannya.

Contoh yang sama pada insutri seluler. VPP menggunakan persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan, sinyal gak pernah putus, kemudahan pembayaran, ketepatan billing, jaminan asuransi dan banyak lagi.

Konsumen menjadi 'non price sensitive'. Asal puas, berani bayar mahal. Daripada murah tapi bikin pusing. Target pasarnya memang lebih kepada 'middle-up'.

Semoga kita bisa menetapkan harga dengan baik.

PS : Disarikan dari artikel di majalah Trust dan tembahan lainnya.

Wassalam.

Profil | Buat lencana kamu sendiri
Profil Facebook Zunhaji Mohamad

Kebijaksanaan Bertindak

Assalamu'alaikum wr. wb.

"Kebijaksanaan adalah tahu apa yang harus dilakukan. Keterampilan adalah tahu bagaimana melakukan. Dan kebajikan adalah melakukannya. Praktekkan kebiasaan bertindak, karena tindakan yang paling sederhana selalu lebih baik daripada niat yang paling hebat".

Sekali lagi saya mengingatkan kembali mengenai pentingnya bertindak, pentingnya mengambil action. Mungkin juga sebagai pengingat dari beliau untuk saya bahwa segala tindakan saya ternyata belum sepenuhnya yang terbaik. Memang :).

Banyak dari kita dengan mudah mengatakan 'saya sudah melakukan yang terbaik' ketika mengalami kegagalan atau menghadapi hambatan. Sama halnya ketika kita melihat di TV seorang artis mengatakan 'mungkin ini yang terbaik bagi kami' ketika menghadapi kasus perceraian.

Terlepas dari bahwa jika itu memang kondisi sebenarnya namun apakah memang benar demikian adanya ?. Apakah kita memang benar2 telah melakukan yang terbaik ? Apakah itu benar2 sudah paling maksimal yang kita lakukan, udah pol abis gitu loch. :)

Yang dikhawatirkan, itu hanyalah alasan semata karena kemalasan kita melanjutkan action lanjutan demi perbaikan. Kekurang persisten dan konsistenan kita. Sebuah tameng excuse bahwa sebenarnya yang kita angggap tindakan terbaik ternyata hanya standar.

Hasil survey dan pengalaman mengatakan, biasanya penjualan closing pada penawaran ke 5. Dan selama ini sepertinya kita sudah akan berhenti di kesempatan ke 3 atau bahkan pertama kali ketika terjadi penolakan.

Dari 100 brosur yang kita sebar, prosentase ditanggapi adalah 5% nya saja. Itupun belum tentu terjadi transaksi. Apakah kita menganggap 100 angka yang besar ? Atau jangan2 kekecilan dan seharusnya kita menyebarkan 10.000 brosur.

'Telah melakukan yang terbaik' memang akhirnya menjadi sangat relatif. Si Budi menganggap membuat online store, iklan tiap Senin, nyebar ratusan brosur dengan desain super menarik, baca buku dan mengikuti seminar motivasi ... adalah yang paling terbaik yang telah dilakukan, tapi mungkin bagi si Basri belum.

Lalu sampai dimana donk batas 'telah melakukan yang terbaik' itu ? Ya, mungkin memang bisa kita anggap tidak ada atau gak perlu kita ucapkan karena kita akan selalu dituntut untuk terus melakukan tindakan, walau mungkin terlihat kecil dan remeh di mata orang lain. Continuous action.

Karena tindakan yang paling sederhana selalu lebih baik daripada niat yang paling hebat.


Profil Facebook Zunhaji Mohamad