26 Februari 2009

Menjadi Pemimpin

Menjadi Pemimpin

Pada suatu malam di tahun 1991, saya duduk bersama dua orang lain di dekat sebuah lapangan parkir. Kami bertiga memiliki kesamaan. Sama-sama kami menantikan sebuah rapat berakhir. Saya menjemput istri yang sedang asik mengikuti rapat sedang kedua orang lainnya menantikan seorang yang perlu diajak bicara malam itu juga. Saya tidak mengira bahwa percakapan di tempat itu yang mulanya cuma merupakan basa basi berakhir menjadi suatu gagasan yang kemudian melahirkan gerakan pembinaan muda-mudi secara holistik. Saya juga tidak mengira bahwa gerakan ini membuat saya terlibat aktif dan mengenal banyak pemimpin dan calon pemimpin. Mereka merupakan manusia yang menarik namun juga membuat saya terdorong meneliti bidang kepemimpinan ini.

Salah seorang tokoh ini akan seterusnya saya sebut sebagai tokoh nomor satu. Usianya sekitar 47 tahun. Ia memiliki lebih dari satu gelar master. Namun di dalam berbagai pertemuan resmi, pada umumnya ia duduk diam mendengarkan dengan sabar. Setelah puas menyimak dan mengamati, barulah ia berbicara. Biasanya orang tertegun atas apa yang ia sampaikan. Kemudian mereka mendukungnya dan beberapa saat kemudian setelah pertemuan tadi, suatu tindakan nyata dilahirkan. Ia juga menggerakkan banyak orang untuk mendukung upaya tadi. Namun seringkali ia menyembunyikan kenyataan bahwa ialah pemicu seluruh proses yang ada.

Apakah rahasia atau dasar keberhasilannya? Kalau hal ini ditanya padanya ia akan menjawab bahwa hal tadi terjadi karena kemurahan Tuhan. Namun pengamatan lebih lanjut menunjukkan beberapa pola yang selalu ia jalankan. Karena itulah ia berhasil menjalankan dengan baik perannya sebagai pemimpin di berbagai lingkungan kerja, sebagai ibu, sebagai istri dan sebagai sahabat. Semuanya sering dilakukan tanpa jabatan atau status resmi, karena status resmi satu-satunya yang ia miliki adalah seorang pengajar dan anggota dewan komisaris di sebuah perusahaan.

Apakah kepemimpinan itu? Bila kita masuk ke sebuah toko buku yang besar di Jakarta atau Yogja, segera terlihat adanya puluhan buku tentang kepemimpinan. Bila kita berupaya mendalami tiap buku, maka segera kita akan terkejut karena ternyata di dalamnya terdapat ratusan pemahaman tentang kepemimpinan. Dengan demikian, pertanyaan di atas bukanlah pertanyaan yang sederhana dan mudah dijawab.

Menurut pengamatan, di satu pihak, ada banyak budaya yang mengagungkan status pemimpin bahkan disitu seorang pemimpin diberikan hak dan wewenang yang luar biasa besar. Misalnya, dianggap wajar bahwa seorang pemimpin menolak mematuhi berbagai peraturan yang semua orang ikuti. Dianggap wajar pula bila seorang pemimpin memiliki tingkat kesejahteraan yang sangat luar biasa. Bahkan, dianggap wajar saja bila seorang pemimpin tidak banyak bekerja, namun menerima pelayanan dan dukungan moril serta materiel dari pengikutnya. Di pihak lain, ada budaya dimana seorang pemimpin justru harus menjadi teladan dalam kesederhanaan, pengabdian, pengurbanan diri, kepatuhan pada peraturan-peraturan serta kebiasaan kerja keras. Tokoh pertama yang saya paparkan di atas merupakan penganut budaya ini. Ia akan menjadi risih bila menjadi jauh lebih sejahtera dari pendukungnya atau bila ia melanggar berbagai aturan. Ia juga mengembangkan budaya dimana, masyarakat menilai tinggi seorang pemimpin karena karya dan pengabdiannya namun bukan karena statusnya semata-mata. Baginya, seorang pemimpin sejati tidak bisa tidak harus merupakan seorang pemimpin yang melayani.

Pada suatu hari sepulangnya dari Australia untuk mempresentasikan sebauh paper tentang pola pikir, tokoh tadi memberikan sebuah buku kepada saya. Di dalam buku itu ternyata tercantum bahwa bila melihat warisan dari pusat-pusat peradaban dunia, istilah pemimpin sudah muncul sejak 5000 tahun sebelum Masehi, antara lain di Mesir. Di Cina, sekitar tahun 600 sebelum Masehi, orang juga sudah membahas masalah kepemimpinan. Di budaya Barat, orang-orang Yunani juga meninggalkan berbagai pemahaman mereka tentang kepemimpinan. Misalnya, Homer menuliskan pandangannya mengenai kualitas pemimpin yang perlu dimiliki. Di jaman modern, sampai pada tahun 2000 saja telah terbit lebih dari 2000 judul buku mengenai kepemimpinan.

Tentulah hal tadi membuat saya bertanya, mengapa orang serius membahas masalah ini. Jawabannya di dapat dari buku lain karangan Bass yang terbit di tahun 90 an. Pertama, kepemimpinan merupakan suatu gejala universal dalam hidup manusia bahkan pada hewan (Bass, 1990) Kedua, berdasarkan pengamatan sederhana saja dapat kita temukan suatu kenyataan bahwa tidak ada suatu masyarakat, gerakan, atau organisasi bahkan kelompok kecil yang akan mencapai hasil tanpa adanya pemimpin. Selanjutnya, dari pengamatan pribadi, saya yakin bahwa selama hidup kita tidak pernah lepas dari pimpinan orang lain. Juga kita tidak pernah terbebas dari kewajiban memimpin orang lain dan diri sendiri. Akhirnya, saya juga mendapatkan kesimpulan setelah berkecimpung dalam dunia pembinaan kader selama sepuluh tahun bahwa, di dunia ketiga dirasakan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, untuk membina dan menyiapkan pemimpin yang mau melayani komunitasnya.

Ketika kemudian saya bertanya pada tokoh pertama di atas: Apakah kepemimpinan itu? Ia menunjuk pada salah satu definisi yang sederhana dan populer. Seorang pemimpin adalah seorang yang diikuti orang lain. Ia juga merujuk pada suatu teori bahwa sadar atau tidak para pengikut yang setialah memberikan seorang pemimpin yang mereka dukung itu sejumlah hal seperti, wibawa, wewenang, dan hak istimewa (Jennings, 1944) Tanpa pemberian dari pengikutnya maka, seorang pemimpin akan lumpuh. Dengan kata lain, bila seorang pemimpin sudah ditinggal para pengikutnya, ia kehilangan hal-hal tadi. Tokoh pertama yang tadi saya perkenalkan sangat menyadari hal ini dan tanggung jawab yang terkait dengan pemberian dari orang banyak itu.

Hal ini lebih jelas lagi bila kita meneliti aspek selanjutnya dari definisi tentang pemimpin yang saya dapati dalam sebuah buku yang ditulis sebelum Perang Dunia kedua. Seorang pemimpin adalah seorang yang dapat menciptakan situasi dimana para pengikutnya untuk setahap demi setahap bergerak ke arah yang mereka sepakati bersama (Cowley, 1928).

Berdasarkan pandangan ini, maka jelaslah bahwa seorang pemimpin diikuti orang karena visinya, misi yang dirumuskannya atau sasaran kerjanya. Mereka percaya kepada kepemimpinannya karena apa yang mau dicapainya bersama dengan para pengikutnya memang baik dan jelas. Mereka memilih mengikutinya karena sang pemimpin mampu menggali apa yang secara tidak sadar telah menjadi impian mereka. Hal inilah merupakan faktor utama penentu keberhasilan seorang pemimpin. Bila mengamati tokoh nomor satu kita tadi, ia mendapatkan pendukung-pendukung setia karena seringkali ia mengungkapkan apa yang sebenarnya memang merupakan cita-cita mereka tanpa mereka sadari. Para profesionhal, pendidik dan psikolog sudah lama merasa tidak tenang melihat ketidak beresan di dunia pendidikan, di dalam pengkaderan kepemimpinan dan hal yang terkait. Mereka tidak tahu musti berbuat apa, namun ingin melakukan sesuatu dalam batas kemampuan mereka. Ia merumuskan dengan lugas suatu visi yang sebenarnya miliki mereka. Visi ini disampaikan dengan sederhana sehingga orang memahaminya. Visi ini juga menggugah karena membuat orang mampu memiliki gambaran mental yang jernih tentang apa yang mereka idamkan di masa depan. Misalnya pada suatu jamuan makan ia melemparkan kejutan: "Kita ada disini karena kita ingin menghasilkan kader kepemimpinan yang nanti memberi pengaruh luhur dan nyata bagi orang yang berbeda-beda di negara ini. Karenanya, adalah keliru bila kita membina siswa-siswi di sekolah unggulan. Justru kita harus membantu anak-anak yang kini sudah hidup sehari-hari di sekolah yang siswanya datang dari berbagai latar belakang dan cukup jamak jenisnya. Marilah kita kaderkan siswa-siswa di sekolah negari dan sekolah yang bersiswa jamak." Tak sampai setahun kemudian, serangkaian pembinaan bagi siswa-siswi di sekolah negeri mulai bergulir. Ia pun berhasil menarik perhatian berbagai kalangan, terutama para ahli ilmu jiwa dan pendidik serta profesional muda lain. Mereka mendukungnya habis-habisan bergerak bersama menuju visi tadi yaitu menghasilkan calon pemimpin yang nantinya mampu bekerja di masyarakat yang jamak. Bergerak bersama artinya menentukan tahap kerja, membagikan persepsi dan ekspektasi dalam kegiatan mereka, serta mencegah kemacetan serta kemunduran dalma keadaan yang sulit dan meragukan sekalipun.

Bagaimana bila seseorang memiliki kuasa untuk memaksa orang bergerak ke suatu arah yang ia tentukan karena ia memiliki kuasa senjata, kuasa uang, kuasa peraturan atau kuasa-kuasa lain yang berlandaskan pada rasa takut orang? Tidakkah ia tetap diikuti orang lain? Tidak salah. Memang ada gejala serupa itu, namun sebenarnya kalau ia diikuti orang banyak, sebenarnya mereka bukaan menerima ia sebagai pemimpin, tetapi sebagai sipir penjara, tiran, atau pemaksa. Pada suatu hari, saya sudah merasa tidak sabar dengan kecepatan gerakan muda-mudi yang ada dan saya mengusulkan agar sang tokoh lebih memaksakan kehendaknya daripada memproses pembicaraan sedemikan lama. Tokoh kita tadi hanya tersenyum dan mengatakan: "Bila saya sebagai seorang pemimpin memaksakan visi pribadi, maka mereka berhenti menjadi pengikut dan secara hakiki saya sudah berhenti menjadi pemimpin. Merekapun bukan lagi menjadi pengikut, namun sebagai kelompok atau sejumlah orang yang dimanfaatkan. Mereka pun mengikuti karena mereka tidak melihat adanya pilihan lain, atau mereka merasa masih dapat memanfaatkan saya. Jadi hubungan yang terjadi adalah hubungan saling memanfaatkan tanpa loyalitas yang dalam."

Di dalam tulisan ini padangan tadi saya ambil alih. Jadi akan sangat ditekankan paham kepemimpinan sebagai suatu daya untuk menggerakkan orang menuju suatu tujuan atau impian tertentu. Namun secara nyata, memang seseorang yang dapat menggerakkan orang menuju suatu tujuan tanpa ia merupakan seorang pemimpin sejati, tapi merupakan hanya seorang provokator bahkan manipulator. Karena itu ada hal kedua yang perlu ditekankan. Selain menimbulkan gerak seorang pemimpin juga merupakan orang yang mampu menghasilkan suatu perubahan atau transformasi pada mereka yang dipimpinnya, dirinya sendiri dan sistem atau komunitas dimana mereka berada. Dengan demikian kita mengenal seorang sebagai pemimpin sejati atau bukan dari hadir atau absennya kedua faktor tadi (The Movement and Transforming Leader) sebagai prasyarat.

Sumber : Indrajit